Senin, 11 Agustus 2014

Kebaya Bali--- Karya Seni yang Sering Muncul dalam Upacara Yadnya



Masyarakat Bali sudah dari dulu melaksanakan upacara yadnya yang merupakan bentuk ajaran agama Hindu, hal itu menyebabkan upacara yadnya tersebut menjadi bagian yang tidak akan terpisahkan dari keberadaan masyarakat Bali. Bahkan tidak jarang pelaksanaan ngaturang banten dan upacara yadnya tersebut dijadikan ciri khas dari masyarakat Hindu  itu sendiri. 

Dalam pelaksanaan yadnya tersebut, sebenarnya jika disimak dan diperhatikan dengan baik ada hal menarik yang selalu menyertai, yaitu kebaya yang digunakan oleh ibu-ibu atau kaum perempuan dalam melaksanakan upacara yadnya tersebut. Baik sebagai pengayah mangku atau sang sane muput upacara ataupun sebagai pengayah di bagian lain. Bentuknya serta coraknya yang sangat beragam seolah ikut memeriahkan pelaksanaan upacara yadnya tersebut agar semakin semarak. 

Kualitas dari sebuah kebaya tentu tergantung dari bagaimana kualitas jahitannya serta juga ditentukan oleh jenis kain yang digunakan sehingga harus benar-benar dipilih agar sesuai dengan minat atau jenis baju yang akan dibuat. Setidaknya hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Bu Candra, salah satu penjahit kebaya yang tinggal di Br. Dukuh Moncos, Sobangan, Mengwi ini. Beliau mengatakan bahwa dalam menghasilkan baju yang bagus dan kualitasnya memuaskan, tidak cukup hanya dengan pas sesuai dengan ukuran pemesan. Jenis kainnya juga harus ditentukan dengan baik karena ada kain yang kualitasnya kurang bagus sehingga ketika setelah dijadikan baju dan dicuci berkali-kali baju tersebut akan menciut atau melonggar sehingga tidak lagi sesuai dengan ukuran pemesan meski tidak semua kain kebaya kualitasnya seperti itu. Selain itu lebih lanjut ibu dua anak ini menjelaskan bahwa mode kebaya saat ini sudah sangat beragam sehingga orang-orang menjadi kembali tertarik untuk membuat berbagai jenis kebaya baru dan dengan bentuk serta rancangan yang mereka ciptakan sendiri. Terutama menjelang adanya piodalan-piodalan atau upacara-upacara keagamaan lainnya.

Keberadaan berbagai jenis kebaya yang saat ini selalu kita lihat terutama saat pelaksanaan upacara agama tentu menunjukkan bahwa masyarakat Hindu Bali juga memiliki rasa seni yang tidak kalah besarnya dengan rasa bhakti terhadap Yang Maha Kuasa . Terbukti berbagai jenis mode baru dari kebaya seolah selalu menyambut datangnya hari suci serta pelaksanaan upacara yadnya. Semoga saja penggunaan kebaya yang bermacam mode tersebut tidak menjadi ajang persaingan bagi masyarakat terutama kaum wanita sehingga mereka lebih terfokus pada persaingan gengsi saja tanpa memahami nilai sradha dan bhakti dalam pelaksanaan upacara tersebut. (wan)
 


Buah Salak--- Bisa Diolah Menjadi Makanan Lainnya

Ketika kita jalan-jalan ke daerah Karangasem atau bahkan sembahyang ke Pura Besakih, tentu akan banyak sekali melihat penjual buah salak. Hal tersebut tentu saja karena Karangasem terutama daerah Sibetan dan Bebandem memang terkenal sebagai daerah penghasil buah salak dan bahkan salak dengan varietas yang unggul seperti salak gula pasir juga dihasilkan di daerah ini. Jadi tidaklah salah jika daerah ini dijuluki sebagai daerah atau bumi salak.
Buah salak sendiri sudah dikenal masyarakat Bali sejak dulu. Bahkan salak seolah tidak pernah absen untuk menjadi bagian dari banten yang dihaturkan masyarakat ketika piodalan atau upacara-upacara yadnya lainnya. Dengan bentuk yang khas, salak menjadi sangat diminati oleh masyarakat karena rasanya yang manis atau kadang agak sedikit asam. Akan tetapi belum semua masyarakat mengetahui bahwa salak bisa dinikmati atau dijadikan makanan lain selain menjadi buah saja.
Menurut Bu Wayan Simpen Armini yang merupakan petani salak termasuk salak gula pasir, banyak sekali makanan dan minuman yang bisa dibuat dengan menggunakan bahan dasar buah salak. Kualitasnya sendiri tidaklah kalah baiknya dengan barang-barang atau makanan yang dibuat di pabrik-pabrik modern. Misalnya saja kripik salak, adapun cara membuatnya yaitu pertama-tama salak dikupas kemudian dicuci dengan air kapur dan ditambahkan dengan sedikit asam sitrat. Setelah itu salak tersebut kemudian direbus setengah matang kemudian diangkat dan dipanggang dengan menggunakan oven. Setelah matang kemudian didinginkan sejenak dan dibungkus atau dinikmati.
Sedangkan untuk membuat Wine, langkah-langkahnya yaitu buah salak tersebut ditumbuk dan digiling untuk diambil airnya, kemudian air salak tersebut dicampur dengan air rebusan kacang hijau dengan ditambahkan gula pasir dan putih telur. Kemudian campuran tersebut ditempatkan ke dalam botol dan didiamkan sampai benar-benar bening dan kotoran-kotorannya mengendap di dasar botol. Setelah benar-benar bening kemudian dikemas dan siap dinikmati.
Selain kripik salak dan Wine tadi, ada pula makanan dan minuman lainnya seperti sirop salak, gorengan, dodol dan bahkan permen salak yang dulu sempat dikonsumsi oleh masyarakat Bali meskipun saat ini permen salak sudah jarang ditemukan keberadaannya. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui dan memahami potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk nantinya dapat diolah dan dimanfaatkan dengan baik sebagai bentuk usaha untuk meningkatkan perekonomian masyarakat kecil dan menengah ring Bali. (wan)

Senin, 27 Januari 2014

Penjual Lumpiang--- Dilarang Berjualan, namun Selalu Diharapkan Keberadaannya oleh Pengunjung



Dalam menjalani hidup ini, tentu manusia sangat perlu untuk bekerja, karena dengan bekerja manusia memiliki penghasilan sehingga nantinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Banyak sekali jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan baik itu yang memerlukan keterampilan khusus yang bisa didapat melalui lembaga pendidikan ataupun yang bisa dipelajari sendiri. Adapun yang bisa dipelajari sendiri diantaranya seperti menjual makanan kecil, salah satunya adalah menjual lumpiang.
Keberadaan penjual lumpiang yang biasanya membawa barang dagangannya tersebut dengan disuun tersebut sering ditemukan di berbagai tempat-tempat ramai seperti di kawasan pantai Sanur, lapangan Puputan Badung dan Renon atau di acara-acara serta tontonan-tontonan masyarakat yang sedang dilangsungkan di suatu pusat keramaian. Para penjual lumpiang seringkali dicari oleh masyarakat yang ingin menikmati makanan ringan yang dibalur dengan saus kacang yang khas ini. Bahkan tidak jarang ada masyarakat yang pergi ke tempat atau pusat keramaian tersebut hanya untuk dapat membeli dan menikmati jajanan lumpiang serta tidak berniat untuk menikmati apa yang acara sedang ditampilkan di tempat tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah sangat mengenal jajanan lumpiang ini dan jajanan ini memiliki penggemarnya tersendiri.


Akan tetapi, meski keadaannya demikian, penjual lumpiang juga tidak pernah luput dari penggusuran. Sama seperti pedagang-pedagang asongan lainnya, pedagang lumpiang juga seringkali terlibat kejar-kejaran atau “kucing-kucingan” dengan petugas dari pihak tramtib atau Satpol PP. Biasanya mereka yang tertangkap barang dagangannya akan diambil dan dibawa ke kantornya di Renon. Bagi pedagang yang tidak berani menghadap ke kantor tentu tidak akan mendapatkan barang-barangnya sedangkan bagi yang mau mengambilnya akan mendapatkan kembali barang-barangnya serta akan mendapat peringatan dan dilarang kembali berjualan di sekitaran lokasi yang telah dilarang tersebut seperti misalnya di kawasan lapangan Puputan Badung, demikian disebutkan oleh Ni Wayan Satri, salah satu penjual lumpiang yang sering berjualan di kawasan Lapangan Puputan Badung ini.
Beliau mengatakan bahwa meski dilarang beliau tetap berjualan karena pekerjaan yang dilakukannya ini adalah pekerjaan yang positif serta tidak mengganggu masyarakat bahkan justru masyarakat berharap agar penjual lumpiang seperti beliau tetap ada di lokasi seperti Puputan Badung terbukti dengan tetap tingginya minat dan daya beli masyarakat terhadap jajanan khas yang satu ini. Ketika ditanya mengenai apa alasan pelarangan berjualan di areal Puputan Badung ini, beliau mengatakan bahwa alasan yang disampaikan oleh pihak Satpol PP tidak jelas. Demikian sebut beliau.
Kenyataan seperti inilah yang tidak jarang membuat masyarakat heran. Betapa tidak? Ditengah masyarakat menunjukkan bukti bahwa mereka tidak menyerah dengan tuntutan ekonomi dan mengunakan cara-cara kreatif untuk mendapatkan penghasilan dengan benar, justru mereka dilarang dan dihantui dengan perasaan cemas kalau-kalau mereka akan diciduk petugas, padahal masyarakat sendiri tidak jarang mengharapkan keberadaan pedagang-pedagang kecil seperti ini di lokasi atau tempat-tempat keramaian seperti Puputan Badung. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ada belum berpihak pada kelompok masyarakat-masyarakat pedagang kecil seperti Bu Wayan Satri ini. Semoga kedepannya muncul kebijakan yang sifatnya juga menguntungkan bagi golongan masyarakat kecil dan menengah seperti beliau. (wan)

Jumat, 17 Januari 2014

Teks Tari Sekar Jepun (Tari Maskot Kabupaten Badung)


Kesucian dening masa
Sekar Jepun pinaka sarana
Tat kala manggehang
Ning kayun sujati
Unteng ne pinaka
Paleburan Panca Maha Bhuta
Kuning petak................kesucianne
Ring Sang Hyang Widhi Wasa
Mogi asung kerta
Dulurin sembah bakti
Reff :
Ampurayang solah ingsung
Jagadhita kalanggengin