Selasa, 22 November 2016

Puputan Margarana, Perang Besar di Desa Klaci Marga

Sebagian besar masyarakat Indonesia tentu masih ingat dengan semboyan bapak Presiden Pertama Indonesia Ir. Soekarno yaitu “jasmerah” yang berarti “jangan sekali-sekali melupakan Sejarah” yang jelas memiliki makna yang amat dalam dalam kehidupan masyarakat kita. Hal itu menjadi sebuah pesan kuat bahwa sebagai generasi penerus bangsa berkewajiban untuk senantiasa mengambil pelajaran penting dari peristiwa di masa lalu dalam menyongsong atau menyambut masa depan. Itu berlaku di seluruh wilayah Indonesia tidak terkecuali di Bali karena di Bali sendiri tidak sedikit terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah yang penting dalam perjuangan dalam meraih kemerdekaan Republik Indonesia ini. Itu sendiri terjadi sejak jaman kerajaan-kerajaan di Bali hingga pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Salah satunya yaitu peristiwa Puputan Margarana.

Tugu Peringatan Puputan Margarana
Peristiwa Puputan Margarana itu sendiri adalah merupakan bentuk keinginan kuat para pemuda Bali, masyarakat Bali dan pejuang-pejuang Bali dalam mempertahankan NKRI yang telah di Proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. yakni dosen di fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana mengatakan bahwa ketika itu masyarakat di Bali sudah mengetahui dan memahami perihal kemerdekaan Indonesia tersebut. Hanya saja dengan hadirnya kembali Belanda yang dibonceng atau menumpang dengan pasukan sekutu menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat di Bali terutama oleh pimpinan tertinggi pasukan Ciung Wanara yakni Kolonel Anumerta I Gst. Ngurah Rai bersama seluruh pasukannya. Muncul kecurigaan bahwa dari gelagatnya Belanda ingin sekali untuk menguasai Indonesia terutama di Bali setelah mendengar berita kekalahan Jepang tersebut. Beliau kemudian menambahkan setelah melakukan berbagai perlawanan serta sempat menyerang dan menjarah Tangsi di Tabanan, maka beliau bersama pasukannya kemudian bersembunyi di wilayah desa Ole Marga tepatnya di wilayah banjar Batukaang. Namun ketika akan melanjutkan pergerakan sampai ke wilayah Gunung Agung, beliau terkepung di wilayah persawahan di Desa Klaci, Marga karena seluruh jalur ditutup oleh pihak Belanda. “Ketika itu dari awal pertempuran beliau beserta pasukan Ciung Wanara sempat unggul Namun karena Belanda kemudian memakai bantuan berupa pesawat pembom dan mortir maka akhirnya beliau merasa terdesak hingga akhirnya menyerukan kata Puputan dan  bertempur secara habis-habisan,” sebutnya.
Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gst. Ngurah Rai
Ditanya mengenai makna kata puputan tersebut, beliau mengatakan bahwa itu berarti tuntaskan atau berperang sampai benar-benar penghabisan atau mati. Ketika kemudian ditanyakan perbedaannya dengan Puputan Badung, beliau mengatakan bahwa peristiwa Puputan Badung itu sendiri merupakan kejadian yang terjadi ketika Bali masih merdeka dibawah bentuk kerajaan-kerajaan alias masih bersifat lokal kedaerahan dan ketika itu dilakoni oleh oleh kerajaan Badung bersama seluruh rakyat Badung (sekarang Denpasar). Sedangkan Puputan Margarana adalah peristiwa yang terjadi ketika kita sudah merdeka di bawah NKRI yang berarti sudah bersifat nasional dan dilakoni oleh Pasukan Ciung Wanara beserta para laskar pejuang lainnya. Namun meskipun demikian fenomenanya tetap sama yaitu sama-sama menghadapi kolonialisme penjajahan Belanda.
Lebih lanjut beliau mengatakan, peristiwa ketika itu memang sangatlah heroik sebab mereka yang ikut bertempur bersama beliau di bawah pasukan Ciung Wanara gugur semuanya. Kemudian terkait dengan bagaimana kemudian cerita dapat terwariskan hingga sekarang beliau mengatakan bahwa itu didapat berdasarkan kesaksian yang disampaikan oleh saksi mata di lokasi ketika itu atau bisa juga berasal dari cerita masyarakat yang sempat terlibat didalamnya dan kemudian cerita-cerita tersebut diwariskan secara turun-temurun.  Tidak hanya itu, cerita tersebut juga muncul dari istri atau keluarga para pejuang, tulisan-tulisan atau benda-benda peninggalan sejarah dan sebagainya. Akan tetapi yang pasti adalah semua prajurit yang saat itu terkepung disana dipastikan gugur semuanya. “Peristiwa itu sangatlah heroik bahkan tidak ada yang tersisa termasuk petingi-petingginya. Justru jika seandainya ketika itu masih ada yang bertahan hidup dari serangan penuh di Margarana tersebut dan mengaku sebagai pahlawan di Puputan Margarana, maka perlu dipertanyakan bagaimana bisa ia masih hidup sedangkan yang lainnya sudah tewas di medan persawahan tersebut,” demikian Prof. Wayan Ardika menjelaskan.