Senin, 15 Januari 2018

Jegog "Abarung", Terdiri Atas Beberapa Jenis Instrumen dengan Pola Permainan yang Berbeda


Masing-masing daerah pasti memiliki ciri khasnya masing-masing sehingga itulah kemudian menjadi penyebab mengapa daerah-daerah yang memiliki keunikan-keunikan tersebut menjadi suatu hal yang wajib dikunjungi oleh para penggemar travelling atau berwisata. Hal tersebut juga ditemukan di Bali yang sejak dulu terkenal sebagai “pulau Dewata” atau “Pulau Seribu Pura” yaitu berupa keindahan alam maupun berbagai bentuk seni dan budayanya. Terkait dengan kesenian atau berupa instrument gamelan, hampir semua daerah di Bali memiliki dan mengenalinya sebagai salah satu bentuk kesenian budaya. Akan tetapi di beberapa daerah seperti misalnya di daerah Jembrana, terdapat jenis gambelan atau instrument musik tradisional yang berbeda dan menjadi sebuah ciri khas tersendiri, yaitu berupa Jegog.
Menurut Mangku Ketut Sindya salah satu masyarakat panglingsir di desa Pergung Jembrana, jegog adalah sebuah kesenian khas dari Kabupaten Jembrana yang menggunakan bungbung-bungbung bambu tersusun sedemikian rupa untuk menghasilkan suara yang khas. Alat musik yang kerap dimainkan saat mesakapan, piodalan, atau saat festival-festival ini sendiri juga seringkali dikaitkan dengan berbagai jenis tarian. Hal serupa juga disampaikan oleh I Komang Wartaya yakni anggota sekaa jegog Sekar Taji desa Pergung. Beliau mengatakan bahwa jegog biasanya juga berisikan berbagai jenis tarian seperti misalnya berupa joged bumbung. Ada juga jenis lainnya seperti misalnya berupa tari Pusparesti, Belibis, Cendrawasih dan juga tari Makepung khas Jembrana. Tidak hanya itu bahkan jegog juga dapat digunakan untuk mengiringi tarian topeng jikalau memang diinginkan oleh pemilik karya. Juga bisa dipakai untuk mengiringi drama dan di masa lalu juga dipakai mengiringi pencak silat maupun cabang. Untuk tabuh yang dimainkan sendiri bermacam-macam, diantaranya yaitu Tabuh Tegak, tabuh Lembar Iswara, tabuh Doplangan. Terdapat pula tabuh genderan, tabuh Bali, tabuh Jalak Putih, tabuh tangis alit, yang tergolong tabuhan ciri khas kuno. “Sedangkan saat prosesi awal atau disebut mungkah sabda maka digunakan tabuh Truntungan yang biasanya akan dimainkan 5-6 menit sebagai  sebagai pembukaan dan setelah itu barulah dilanjutkan dengan tabuh lainnya. Kemudian jika akan dipakai di festival yaitu tabuh kreasi baru berupa Tabuh Kulkul Banjar” sebut Komang Wartaya.
I Komang Wartaya pun menambahkan, pada dasarnya Jegog atau Jegogan itu sendiri adalah instrument atau gamelan bambu yang ukurannya paling besarnya saja dan dalam formasinya paling belakang. Sedangkan untuk yang lainnya memiliki nama masing-masing dan juga tersusun atas formasi tertentu. Diantaranya yaitu untuk yang ditempatkan di baris depan disebut dengan Barangan yang jumlahnya yaitu 3 buah, kemudian dibelakangnya lagi yaitu disebut dengan Kancil atau Kancilan sebanyak 3 buah yaitu sebagai pemanisnya. Dibelakang kancil ada yang disebut dengan Suwir berjumlah 3 buah dengan pegapit 2 buah di kanan dan kirinya yang disebut dengan Kuntung atau disebut dengan Celuluk sebanyak 2 buah. Kemudian paling belakang yaitu Jegogan tadi sebanyak 1 buah dan ia diapit di kanan-kirinya dengan gambelan yang disebut dengan  Undir sebanyak 2 buah. Sehingga totalnya sebanyak 14 buah instrument dan ditambah dengan kletuk atau tawa-tawa 1 buah, kendang 2 buah, cengceng 1 buah dan suling 1 buah sehingga lengkapnya bisa mencapai 19 instrumen musik yang disebut dengan gambelan jegog abarung.
Keunikan lainnya yaitu menurut beliau adalah dari segi permainannya, sebab dalam memainkan satu tabuh maka tiap jenis intrumen bambunya dimainkan secara berbeda-beda untuk menghasilkan satu irama. Misalnya saja yaitu untuk di barangan kedua panggulnya akan ngebun satu dan ngoncang satu atau seperti ngerindik yaitu matel yang tangan kanan dan yang tangan kiri ngiing. Kemudian untuk di kancil dan suwir gegebugannya yaitu disebut dengan maket dan nyelangkit dimana antara tangan kanan dan kiri harus mampu hidup berdiri sendiri. Kemudian untuk di kuntung disebut dengan ngiing dan ngicig sedangkan untuk di undir sama dengan pada jegogannya yaitu ngicig saja, namun ketiganya itu harus memakai tenaga yang cukup besar sebab selain panggul yang agak berat juga dengan tujuan agar suara yang dihasilkan bisa ngangkep keras. Ditanya mengenai jumlah penabuhnya, beliau mengatakan bahwa meski instrumen abarungnya sebanyak 19 buah, namun jumlah pemainnya bisa sebanyak 20 orang karena pada jegogannya dimainkan oleh dua orang. hal serupa juga disampaikan oleh I Made Dwi Septian Cahyadi, S.Pd.B yakni pengurus sekaa jegog Sekar Taji yang juga anggota Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Jembrana. Dirinya mengatakan bahwa meski jumlah instrumennya adalah 19, namun pemainnya bisa mencapai 20 orang dan di jegogannya tersebut harus mampu dimainkan oleh kedua penabuh dengan baik dan serasi. Selain itu secara umum memainkan jegog tersebut juga unik karena menuntut konsentrasi serta tingkat kehapalan penabuh terhadap tabuh yang dimainkan. “Tata cara memainkan jegog itu unik sebab antara tangan kanan dengan tangan kirinya sama sama megang panggul dan keduanya memainkan not atau nada yang berbeda. Seperti orang ngerindik, satu tangannya ngebun satu lagi ngoncang,” sebut Dwi Septian Cahyadi menjelaskan.





Kendang Mebarung, Kendang Tradisional Jembrana


Kesenian adalah merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang lahir atau tercipta sebagai bagian dari kehidupan manusia beserta segala bentuk proses dan interaksi antar manusia yang terjadi di dalamnya. Bentuk-bentuk kesenian itu sendiri sudah dapat dipastikan tidaklah sama sebab itu akan dipengaruhi atau ditentukan oleh kondisi masyarakat pendukungnya maupun kondisi alam di wilayah tersebut. Sehingga tidak heran jika untuk suatu aspek kesenian yang sama misalnya gegambelan, akan terdapat bentuk-bentuk yang berbeda dan justru semakin menambah keragaman atau kekayaan budaya tersebut. Hal serupa juga ditemukan di Bali,  yang mana di wilayah Jembrana terdapat sebuah alat musik tradisional atau gambelan yang khas dan memang tidak ada di wilayah lain di Bali. Adapun jenis gambelan itu yakni disebut dengan Kendang Mebarung.
Kendang Mabarung ini yaitu sebuah kendang tradisional yang berukuran sangat besar, yaitu garis tengahnya bisa sampai 80 cm hingga 82 cm dengan panjang badan kendang tersebut mencapai 2,25 meter. Mangku Ketut Sindya yaitu salah satu masyarakat panglingsir di desa Pergung Jembrana mengatakan bahwa kesenian tersebut adalah sebuah kesenian warisan leluhur yang kerap kali dimainkan oleh masyarakat pengingsir atau yang tergolong tua. Pada awalnya kesenian tersebut digunakan sebagai ajang untuk berolahraga bagi mereka namun kemudian menjadi sebuah kesenian untuk adu kualitas suara atau "meluung-luungan munyi". Lebih lanjut beliau mengatakan, jenis kesenian yang ini bisa ditemukan di beberapa wilayah di Jembrana  misalnya di Penyaringan, Tegal Cangkring, Pergung dan sebagainya ini biasanya akan disuarakan saat ada karya dipura, saat layon berangkat ke setra, mengiringi kegiatan mecaru, saat upacara pawiwahan dan bahkan nyambutin. Namun itu sendiri kembali kepada minat atau keinginan dari si pemilik upacara karena pada dasarnya itu bukanlah suatu kewajiban atau keharusan. "Tidak hanya itu meski banyak ditemukan, namun tidak bisa dipastikan bahwa setiap desa di Jembrana pasti memilikinya. Hal itu sendiri mengikuti atau menyesuaikan dengan keinginan masyarakat di banjar maupun desa adat yang bersangkutan dan bukanlah sebuah kewajiban," sebut Mangku Sindya.
Tidak hanya unik dari segi bentuknya, Mangku Sindya juga mengatakan bahwa kendang itu sendiri memiliki keunikan lainnya. Hal itu sendiri yakni dari sebuah kendang mebarung tersebut akan menghasilkan 5 jenis suara yang berbeda, diantaranya yaitu disebut dengan suara Tutuk atau suara kerasnya, kemudian Grantangan yakni berupa ngarrrrrr ngararararar, kemudian Reng yakni ngurr ngurrr ngurrrr, suara Glendengan maupun Angkepan atau proporsionalitas dari keempat suara tadi. Namun ia tidak akan bisa dideteksi tanpa bantuan alat mendengarnya, hal tersebut seperti yang disebutkan oleh  I Ketut Suwandra yaitu Ketua Sekaa Kendang Mabarung Adnyana Tunggal Desa Pergung, Jembrana. Beliau mengatakan bahwa untuk mendengarkan bagus-jeleknya kelima suara kendang tersebut harus  berdiri jauh dari kendang tersebut dipukul kemudian memakai bungbung yang didekatkan di telinga pendengar. Suara yang kemudian didengarkan itu adalah berupa gema suara yang muncul dari bungbung tersebut. Saat itulah akan didengarkan secara seksama apakah suaranya sudah pas atau perlu diperbaiki lagi agar makin bagus suaranya itu atau bagaimana.
Ditanya mengenai bagaimana perbaikan kendang tersebut dilakukan, Ketut Suwandra mengatakan bahwa itu dilakukan tidak ada waktu berkala melainkan saat suaranya dianggap berubah atau kualitasnya menurun saja. Sedangkan jika didasarkan pada kondisi badan atau kayu kendangnya itu tidak menjadi penentu. Ditanya hal apa yang paling penting untuk dapat memainkan kendang yang memakai panggul dari bahan rotan ini, Ketut Suwandra mengatakan bahwa yang terpenting adalah kelenturan tangan dan lengan. Sebab jikalau tangan dan lengan kita tidak lentur maka disarankan untuk tidak ikut memukulnya sebab akan menimbulkan sakit dan kaku pada keduanya tadi. "Memainkan kendang ini adalah susah-susah gampang, sebab selain harus lentur pola pukulannya tidak mudah dan harus melalui tahap pembiasaan. Jika tidak maka setelah selesai memukul kendang mebarung tersebut akan membuat badan semua tersa pegal dan kaku semua dan suara kendangnya pun jauh dari yang diharapkan," demikian Ketut Suwandra menjelaskan.