Sebagian
besar masyarakat Indonesia tentu masih ingat dengan semboyan bapak Presiden
Pertama Indonesia Ir. Soekarno yaitu “jasmerah” yang berarti “jangan
sekali-sekali melupakan Sejarah” yang jelas memiliki makna yang amat dalam
dalam kehidupan masyarakat kita. Hal itu menjadi sebuah pesan kuat bahwa
sebagai generasi penerus bangsa berkewajiban untuk senantiasa mengambil
pelajaran penting dari peristiwa di masa lalu dalam menyongsong atau menyambut
masa depan. Itu berlaku di seluruh wilayah Indonesia tidak terkecuali di Bali
karena di Bali sendiri tidak sedikit terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah
yang penting dalam perjuangan dalam meraih kemerdekaan Republik Indonesia ini.
Itu sendiri terjadi sejak jaman kerajaan-kerajaan di Bali hingga pasca
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Salah satunya yaitu peristiwa Puputan
Margarana.
Tugu Peringatan Puputan Margarana |
Peristiwa
Puputan Margarana itu sendiri adalah merupakan bentuk keinginan kuat para
pemuda Bali, masyarakat Bali dan pejuang-pejuang Bali dalam mempertahankan NKRI
yang telah di Proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Prof. Dr. I Wayan Ardika,
M.A. yakni dosen di fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana mengatakan bahwa
ketika itu masyarakat di Bali sudah mengetahui dan memahami perihal kemerdekaan
Indonesia tersebut. Hanya saja dengan hadirnya kembali Belanda yang dibonceng
atau menumpang dengan pasukan sekutu menimbulkan tanda tanya besar bagi
masyarakat di Bali terutama oleh pimpinan tertinggi pasukan Ciung Wanara yakni
Kolonel Anumerta I Gst. Ngurah Rai bersama seluruh pasukannya. Muncul
kecurigaan bahwa dari gelagatnya Belanda ingin sekali untuk menguasai Indonesia
terutama di Bali setelah mendengar berita kekalahan Jepang tersebut. Beliau
kemudian menambahkan setelah melakukan berbagai perlawanan serta sempat
menyerang dan menjarah Tangsi di Tabanan, maka beliau bersama pasukannya
kemudian bersembunyi di wilayah desa Ole Marga tepatnya di wilayah banjar
Batukaang. Namun ketika akan melanjutkan pergerakan sampai ke wilayah Gunung
Agung, beliau terkepung di wilayah persawahan di Desa Klaci, Marga karena seluruh
jalur ditutup oleh pihak Belanda. “Ketika itu dari awal pertempuran beliau beserta
pasukan Ciung Wanara sempat unggul Namun karena Belanda kemudian memakai
bantuan berupa pesawat pembom dan mortir maka akhirnya beliau merasa terdesak
hingga akhirnya menyerukan kata Puputan dan
bertempur secara habis-habisan,” sebutnya.
Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gst. Ngurah Rai |
Ditanya
mengenai makna kata puputan tersebut, beliau mengatakan bahwa itu berarti
tuntaskan atau berperang sampai benar-benar penghabisan atau mati. Ketika
kemudian ditanyakan perbedaannya dengan Puputan Badung, beliau mengatakan bahwa
peristiwa Puputan Badung itu sendiri merupakan kejadian yang terjadi ketika
Bali masih merdeka dibawah bentuk kerajaan-kerajaan alias masih bersifat lokal
kedaerahan dan ketika itu dilakoni oleh oleh kerajaan Badung bersama seluruh
rakyat Badung (sekarang Denpasar). Sedangkan Puputan Margarana adalah peristiwa
yang terjadi ketika kita sudah merdeka di bawah NKRI yang berarti sudah
bersifat nasional dan dilakoni oleh Pasukan Ciung Wanara beserta para laskar
pejuang lainnya. Namun meskipun demikian fenomenanya tetap sama yaitu sama-sama
menghadapi kolonialisme penjajahan Belanda.
Lebih lanjut beliau
mengatakan, peristiwa ketika itu memang sangatlah heroik sebab mereka yang ikut
bertempur bersama beliau di bawah pasukan Ciung Wanara gugur semuanya. Kemudian
terkait dengan bagaimana kemudian cerita dapat terwariskan hingga sekarang
beliau mengatakan bahwa itu didapat berdasarkan kesaksian yang disampaikan oleh
saksi mata di lokasi ketika itu atau bisa juga berasal dari cerita masyarakat
yang sempat terlibat didalamnya dan kemudian cerita-cerita tersebut diwariskan
secara turun-temurun. Tidak hanya itu,
cerita tersebut juga muncul dari istri atau keluarga para pejuang,
tulisan-tulisan atau benda-benda peninggalan sejarah dan sebagainya. Akan
tetapi yang pasti adalah semua prajurit yang saat itu terkepung disana
dipastikan gugur semuanya. “Peristiwa itu sangatlah heroik bahkan tidak ada
yang tersisa termasuk petingi-petingginya. Justru jika seandainya ketika itu
masih ada yang bertahan hidup dari serangan penuh di Margarana tersebut dan
mengaku sebagai pahlawan di Puputan Margarana, maka perlu dipertanyakan
bagaimana bisa ia masih hidup sedangkan yang lainnya sudah tewas di medan
persawahan tersebut,” demikian Prof. Wayan Ardika menjelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar